Header Ads

test

Mengenal Kyai Haji Noer Ali, Singa Karawang-Bekasi


Oleh: Hamzah Afifi

Kyai Haji Noer Ali lahir pada tahun 1914 di Kampung Ujung Malang (sekarang menjadi Ujung Harapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama Haji Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hajah Maimunah binti Tarbin.

Kemauannya yang keras, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar mencicil. Ketika di Mekkah, ia dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”

Noer Ali pun merasa “marah” dan kemudian menghimpun para pelajar dari Indonesia untuk memikirkan nasib bangsa. Noer Ali pun diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937). Rapat-rapat yang diselenggarakan membuat Pemerintah Arab Saudi curiga sehingga Noer Ali dan kawan-kawan sempat ditahan.

Tahun 1940 Noer Ali kembali ke Bekasi dan mendirikan pesantren di Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, Noer Ali terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Pada tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan masa.

Dalam mempertahankan kemerdekaan, Noer Ali menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai KH Noer Ali.

Ketika agresi militer bulan Juli 1947. KH Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Dia diperintahkan untuk bergerilya. KH Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat dengan jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.

KH Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata masih ada RI di wilayah kekuasaannya. Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat.

Pasukan MPHS sekitar 600 orang malang melintang antara Karawang-Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Disitulah KH Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh.

Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh AH Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Saat terjadinya negara RIS kembali ke negara kesatuan, dia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Pada tahun 1956, KH Noer Ali diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante.

Pada tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Selanjutnya pada tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat.

Pada tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Sejak tahun 1972 dia menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. KH Noer Ali adalah pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia selalu bersikap baik.

KH Noer Ali juga tidak rasialis. Pada jaman Jepang, ada beberapa cina yang ia lindungi dari tindasan Jepang. Dalam kaitan dengan pendidikan ada cina mualaf yang diangkatnya menjadi pimpinan sekolah. KH Noer Ali juga berkiprah di bidang pemerintahan.

Pada tahun 1950, KH Noer Ali mengganti nama Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi. Ia juga menjadi Wakil Ketua Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) Kabupaten Bekasi dan menjadi Bupati Bekasi sementara ketika terjadi kekosongan jabatan bupati pasca Bupati Suhandan Umar yang mengalami konflik (1951).

Pada Masa Orde Baru, KH Noer Ali tetap menjaga integritasnya. Misalnya pada tahun 1986 ia berjuang menghapus judi Porkas Sepak Bola, mengkritisi sikap mereka yang anti jilbab.

Menjelang wafatnya pada tahun 1992, KH Noer Ali masih berkeliling mengajar para santri, berdakwah. Sempat juga ia menerima Bintang Nararya pada tahun 1995. Namun, penghargaan itu belum sepadan dengan jasa-jasanya. Layaklah ia diangkat sebagai pahlawan nasional.

Gelar Pahlawan Nasional “KH Noer ‘Ali” dan Tanda Kehormatan Bagi Pejuang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan kepada sembilan orang pejuang yang dianggap telah berjasa kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, di Istana Negara, Kamis 9 November 2006.

Acara penganugerahan gelar ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Pahlawan tahun 2006 yang lalu. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No: 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 Nopember 2006, Presiden SBY menetapkan untuk menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional disertai piagam dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipurna kepada:

1. Alm Pangeran Mangkubumi/Sultan Hamengku Buwono I, DI Yogyakarta.
2. Alm KH Noer Ali, Jawa Barat.
3. Alm RM Tirto Adhi Soerjo, Jawa Barat.
4. Alm H. Pajonga Daeng Ngalie Karaeng Polongbangkeng, Sulawesi Selatan.
5. Alm Opu Daeng Risadju, Sulawesi Selatan.
6. Alm Andi Sultan Daeng Radja, Sulawesi Selatan.
7. Alm Izaak Huru Doko, Nusa Tenggara Timur.
8. Alm DR Mr H. Teuku Moehammad Hassan, Nanggroe Aceh Darussalam.


Tidak ada komentar